Kamis, 03 September 2009

Talk about love part 2?

Kya… tiba-tiba ngomongin “beginian” lagi. Sebenernya nggak tiba-tiba banget, mengingat cukup banyaknya kejadian yang memotivasi saya menulis artikel ini. Artikel ini sendiri merupakan lanjutan dari Talk About Love Part I : Why We Fall In Love yang dapat ditemukan pada blog ini juga.

And the story goes…

Love is a chemicals thing, begitulah mahzab yang akan kita anut dalam artikel ini. Salah satu pendiri mahzab ini yaitu Helen Fisher dari Rutgers University. Fisher banyak meneliti tentang reaksi-reaksi biokimia yang terjadi dalam tubuh kita saat kita jatuh cinta. Dari penelitiannya tersebut, Fisher mengajukan suatu teori bahwa kita dapat jatuh cinta dalam 3 tahap…

Tahap I : Lust

Tahap ini merupakan tahap pertama yang merupakan tahap awal ketertarikan. Dalam tahap ini, terdapat dua macam hormon yang berpengaruh penting : testosteron dan estrogen.

Tahap II : Attraction

Attraction, sejauh yang saya lihat, merupakan tahap yang paling umum dialami oleh orang-orang di sekitar saya. Tahap ini disebut juga truly love phase, suatu tahap di mana orang yang mengalami tidak dapat berpikir tentang hal lain (wuih…). Orang tersebut juga mungkin kehilangan selera makan dan membutuhkan lebih sedikit waktu tidur. Waktu tidur yang lebih sedikit memang bagus untuk diterapkan waktu ujian. Namun, orang pada tahap ini memilih untuk tidak tidur karena ingin melamun dan memikirkan si pujaan hati… (Coba kalau kita bisa jatuh cinta pada StrukDat, Kalkulus, dll…)

Tahap attraction ini dipengaruhi oleh kumpulan neuro-transmitter (cairan transmiter dalam otak) yang disebut monoamines. Anggota kumpulan neuro-transmitter tersebut adalah :
1) dopamine : zat yang juga dapat diaktifkan oleh kokain dan nikotin (glek…)
2) norepinephrine : juga dikenal sebagai adrenalin, dapat membuat kita berkeringat dan berdebar-debar
3) serotonin : salah satu zat kimia terpenting yang dapat membuat kita “gila sementara”

Love is mad, begitulah kalimat yang cukup sering terdengar. Berdasarkan penelitian tahun 1990 di Italia, bila kita jatuh cinta, kita akan mengalami beberapa gejala OCD (Obsessive Compulsive Disorder). OCD ini dapat mengakibatkan seseorang menjadi obsesif terhadap sesuatu dan dapat menurunkan kadar serotonin.

Pelajar Italia yang sedang jatuh cinta, ditemukan memiliki kadar serotonin 40% lebih rendah daripada pelajar yang tidak sedang jatuh cinta. Rendahnya kadar serotonin ini berkaitan dengan munculnya kegelisahan dan depresi. Untungnya, efek biokimia tersebut tidak berlangsung selamanya. Pelajar yang jatuh cinta tersebut ditemukan memiliki kadar serotonin yang normal setelah 1 tahun menjalin hubungan.

Tahap III : Attachment

Inilah tahap yang akan mengakhiri tahap attraction bila hubungan yang ada ingin dilanjutkan. Kalau kita tidak ingin melangkah ke tahap ini, apapun yang telah kita lakukan (termasuk waktu yang kita luangkan, hadiah yang kita berikan dan pulsa yang kita habiskan) pada tahap sebelumnya nggak akan worthed.

Attachment merupakan “longer lasting commitment” yang dapat mengikat pasangan saat mereka ingin membentuk suatu keluarga (ha3…ketauan deh arahnya ke mana…). Tahap yang ketiga ini dipengaruhi oleh 3 jenis bahan kimia berikut.
1) Oksitosin : dihasilkan oleh kelenjar hipotalamus, memperkuat hubungan antara pasangan serta antara ibu dengan anaknya.
2) Vasopresin : hormon penting yang mengontrol ginjal. Dalam suatu penelitian, vole jantan (vole tu hewan apa, c?) diberi obat yang dapat menurunkan efek dari vasopresin. Hasilnya? Ikatan antara vole jantan dengan pasangannya merenggang. Nah, loh!
3) Endorfin : merupakan neuro-transmitter yang dihasilkan oleh otak kita bila kita melakukan “hal-hal yang baik”. Hormon ini memungkinkan kecanduan terhadap suatu aktivitas tertentu yang dianggap sebagai “hal-hal baik”, misalnya memenangkan sesuatu, tertawa, berolahraga, … (sensor) dan jatuh cinta. Endorfin juga dapat membuat kita bahagia dan merasa hidup… (wow!).

Yah cukup, pembahasan part II sampai di sini. Hikmah yang mungkin dapat diambil part II yaitu sebagai berikut.
1) Jatuh cinta menghasilkan efek pada otak seperti bila kita menggunakan kokain atau nikotin. Jadi, berhati-hatilah.
2) Tanpa keinginan untuk melangkah ke tahap attachment, tahap-tahap sebelumnya menjadi percum tak bergun.
3) Jangan terlalu lama berkutat di tahap attraction. Kalau kita belum siap menghadapi resiko yang mungkin muncul, lebih aman berkutat di tahap lust. Nah, kalau sudah siap baru lanjutkan ke tahap attachment… *peace*

…just sharing


Possibly related posts: (automatically generated)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar